Senin, 22 Desember 2014

Kursi di Seberang Danau

  Hari ini sama seperti hari Minggu pagi lainnya, dengan udara yang sejuk dan kawasan yang tidak terlalu ramai. Elle biasa duduk duduk di sebuah kursi panjang, tepat di seberang danau. Biasanya kursi itu hanya di duduki oleh para pejalan kaki atau orang-orang yang kelelahan sehabis jogging.
  Elle duduk sembari membaca buku, menunggu kedatangan seseorang. Beberapa meter darinya, seorang anak kecil berlari-lari menuju bangku itu. Peluh mengucur dari dahinya.
  "Maaf teh, aku terlambat," ucapnya buru-buru. Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku agama yang sama persis seperti milik Elle. Elle hanya tersenyum kepadanya. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak berniat untuk memarahi anak itu sama sekali.
  "Tidak apa-apa Diana. Kita mulai saja pelajaran hari ini,"
  Elle dan Diana segera membuka buku masing-masing. Kurang lebih selama dua jam mereka habiskan untuk membaca buku dengan tulisan full Arab gundul itu. Sedikit demi sedikit Diana berusaha menyelesaikan kalimat terakhir. Gadis itu belum terlalu mahir berbahasa Arab, karena ia memang belum pernah mempelajarinya dengan serius. Tetapi sejak ia bertemu Elle, seorang wanita yang cerdas dalam ilmu agama maupun ilmu dunia, Diana bukan hanya terbantu dengan pelajaran bahasa Arab saja, tetapi juga pelajaran agama dan hadits-hadits yang sebelumnya tak pernah ia tahu.
  Sesi pembelajaran mereka selalu di hari minggu, satu-satunya hari dimana Elle memiliki waktu kosong di tengah-tengah kesibukannya bekerja.
  "Teh? Teh Elle?" Ia beberapa kali memanggil nama Elle, menyadarkan lamunannya beberapa saat yang lalu untuk pamit pulang. Setelah Diana pergi, matanya menangkap sesosok laki-laki yang sedang memperhatikannya agak jauh di kursi lain. Dengan cepat Elle segera membereskan barang-barangnya dan pergi.

  Jam menunjukkan pukul satu siang. Langkahnya bertambah cepat saat ia melihat sebuah vespa biru terparkir di halaman rumahnya. Di ruang tamu, seorang lelaki tengah mengobrol bersama kakak dan ibunya. Menyadari kedatangan Elle, sang ibu langsung menghampirinya dan mengajaknya pergi ke ruangan lain.
  "Dia kah orangnya, bu?" tanya Elle. Ibu mengangguk dengan mata berbinar-binar.
  "Dia baru saja datang, ingin melamarmu." Elle sedikit gugup saat mendengarnya. Sudah tiga bulan ini ia menjalani proses ta'aruf dengan lelaki itu. Tak disangka akhirnya ia benar-benar datang ke rumah untuk melamar.
  Dari balik tembok, kakak laki-laki Elle, Ilham, muncul dengan wajah gembira.
  "Ayo, dik. Saatnya bertemu calon," kaki Elle terasa berat saat berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya dag dig dug tidak karuan, ia sama sekali tidak mengenal laki-laki itu, bertemu pun hanya dengan melihat dari jauh. Saking gugupnya, Elle hanya bisa memalingkan pandangan, berusaha tidak bertatapan mata secara langsung. Tetapi ia menyadari bahwa laki-laki itu jelas memerhatikannya dengan jeli.
  "Dik, kedatangan Zuhair kesini adalah ingin melamarmu. Kalian kan sudah melalui proses ta'aruf, akan lebih baik jika kita melangkah ke tahap selanjutnya," dengan nada percaya diri Ilham melirik adiknya yang sejak tadi hanya diam bagaikan patung.
  "Elle, apakah kau setuju dengan lamaran ini?" kali ini ibu yang angkat bicara. Baru saja ia ingin menjawab, terdengar suara azan Ashar berkumandang. Mendadak hati Elle yang sejak tadi cemas, berubah lega.
  "Sebaiknya kita shalat dulu, Zuhair. Meminta kepada Allah untuk melancarkan proses pelamaran ini." Zuhair hanya tersenyum, kemudian pamit kepada ibu untuk pergi ke masjid bersama Ilham. Saat melewati Elle, lelaki itu langsung menundukkan wajahnya.
  Ibu segera menghampiri Elle sesaat mereka pergi.
  "Elle, jadi bagaimana? Apa kamu mau menerima lamaran darinya?" tanya ibu cemas. Namun ia hanya mengangguk sambil tersenyum. "Alhamdulillah," ucap sang ibu.

  Sekembalinya mereka dari masjid, Elle memberikan jawaban atas prosesi lamarannya dan menyetujui segala syarat yang diajukan dari masing-masing pihak.
  "Baiklah, kalian akan menikah dua minggu lagi. Tanggal 28 Desember," Ilham memastikan kesimpulannya telah sesuai. Elle dan Zuhair mengangguk.
  "Tetapi sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa bulan ini juga saya akan berangkat umroh," ucap Zuhair. Mata Elle terbelalak saat mendengarnya. Umroh? Dua minggu sebelum pernikahan mereka? Meskipun begitu ibu dan kakaknya sepertinya tidak merasa keberatan.
  Setelah terucap kata sepakat, Zuhair pamit pulang. Saat itu juga mereka langsung bergegas menyiapkan segala kebutuhan termasuk undangan, katering, tempat resepsi dan lain-lain. Malam itu Elle tak henti-hentinya memanjatkan doa, memohon agar dilancarkan pernikahannya. Memohon semoga ia dikaruniai keluarga sakinah mawaddah wa rohmah serta anak-anak yang shaleh dan shalihah. Sekilas ia teringat hari itu, hari minggu di kursi seberang danau tempat ia biasa mengajar. Hari dimana ia bertemu Zuhair, sekitar empat bulan yang lalu. Saat itu ia sama sekali tidak menyangka bahwa Zuhair lah, lelaki yang kelak akan melamarnya.
  Namun Elle meyakini bahwa Allah tidak akan salah memilihkan pasangan hidup bagi setiap hambanya. Laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik, dan laki-laki yang buruk adalah untuk perempuan-perempuan yang buruk pula. Jika memang Allah menetapkan Zuhair sebagai suaminya, ia yakin bahwa lelaki itu memang telah khusus dipilihkan Allah untuknya. Pernikahan bukan dibangun atas dasar harta, cinta ataupun jabatan. Hal-hal tersebut akan hilang, pudar, dan tergantikan. Jika pernikahan didasari cinta karena fisik, setiap harinya akan ada orang lain yang jauh lebih menarik. Jika didasari karena harta, suatu saat ia akan habis tak bersisa. Jika didasari karena jabatan, ketika Allah mengambil semua itu darinya akankah ikrar suci pernikahan dapat engkau pertahankan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar