Suara kaca
yang menghantam lantai terdengar lagi dari kamar Seira.
Tak lama,
tangisan gadis kecil itu menimbulkan kegaduhan. Langkah kaki panik dokter dan suster
bergema sepanjang lorong rumah sakit, berlari secepat mungkin untuk memeriksa
keadaan.
Seorang ibu
tengah menggenggam tangan kecil anak perempuannya, menahan air mata yang hampir
tak terbendung, berupaya sekuat tenaga menenangkan gadis kecil itu agar tak
melawan saat dokter menyuntiknya.
Malam itu berlalu dengan ditemani gemuruh hujan dan
angin kencang, seakan tahu bahwa kekhawatiran tengah menerpa keluarga mereka.
Sinar
mentari menyilaukan mata Seira kecil. Perlahan, matanya mulai beradaptasi, berusaha
menangkap keadaan sekitar. Di sisi tempat tidur, samar-samar ia melihat seorang
lelaki tua berjubah putih sedang berbicara dengan seorang pria berjas hitam dan
wanita paruh baya disampingnya. Wanita itu menyadari bahwa Seira mulai
terbangun dan segera mendekat.
“Selamat
pagi,” tangannya yang halus membelai kepala Seira dengan lembut, membuat mata
Seira terbuka lebar. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya untuk melihat wanita
itu lebih jelas.
“Ibu?
Ayah?” mulutnya terasa perih saat mengucapkan kata-kata itu. Seira tahu mereka
tersenyum, namun ia hanya bisa melihat bayang-bayang mereka.
“Ibu? Ayah?
Tidak kelihatan! Ibu! Ayah!” tangannya berusaha meraih pegangan, meraba ke
segala arah. Nafasnya terengah-engah, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa
merasakan syaraf-syaraf di tubuhnya, seakan telah terputus. Yang bisa ia
rasakan hanyalah rasa sakit tiap kali ia berbicara dan bayangan yang kabur
meski ia sudah berkali-kali memfokuskan pandangan. Seira menggenggam tangan
wanita itu kuat-kuat.
“Tidak
apa-apa, Nak. Tidak apa-apa,”
Perlahan
air matanya menetes. Ia ingat anaknya yang dahulu sempurna tanpa ada kecacatan
fisik sedikitpun, gadis kecil lucu dan polos yang begitu disayangi semua orang,
kini menderita di ruang UGD rumah sakit. Sang ibu tidak sanggup untuk
memberitahu putri semata wayangnya itu bahwa ia telah kehilangan mata kirinya
saat dua anjing pitbull menyerangnya kemarin sore di taman. Akibatnya mata kiri
Seira kini harus diperban. Dengan tinggal satu matanya yang setengah buta, Seira
meraba wajah ibunya. Jari-jari kecilnya menelusuri setiap jengkal wajah sang
ibu, dengan terbata-bata memanggilnya tanpa suara.
Mulut gadis
kecil itu mendapat beberapa jahitan sehingga tidak memungkinkannya untuk
mengunyah makanan, namun dokter telah memasang tabung dengan selang-selang yang
terhubung di tubuh Seira untuk memudahkannya makan. Setelah beberapa hari
mendapat perawatan di RS, akhirnya dokter mengijinkan Seira untuk pulang dan
menjalani rawat inap. Selama proses rawat inap, dokter akan datang ke rumah dua
kali seminggu. Sang nenek lah yang mendapati tugas untuk menjaga Seira saat
kedua orang tuanya sedang tidak dirumah.
Setelah dua
bulan rawat inap, dokter mengatakan kondisi Seira semakin membaik dan ia sudah
bisa bepergian keluar. Ia memberi Seira selamat dan sebatang permen untuknya.
Seira menatap nenek, menyadari bahwa sudah waktunya makan siang.
"Nenek, aku ingin makanan lain. Aku ingin pergi jalan-jalan di
luar," suara gadis itu serak dan putus-putus, sang nenek tidak tega
menolak keinginan Seira. Ia bisa mengerti bahwa Seira pasti bosan. Nenek tahu
cucunya adalah gadis kecil yang aktif. Dan mengurungnya dirumah akan membuatnya
merasa tertekan. Akhirnya nenek memutuskan untuk mengajaknya makan di sebuah
warung makan beberapa blok dari rumah.
Betapa
senangnya Seira bisa pergi jalan-jalan, terutama melihat matahari yang bersinar
terang, menyaksikan anak-anak sekadar bermain dan berlari-lari bersama.
Beberapa meter di depan terlihat pintu masuk rumah makan itu. Sang nenek kemudian
memesan bubur untuk Seira dan dua es teh. Untuk makan, Seira masih menggunakan
tabung makan yang dipasang oleh dokter.
Nenek sadar
akan perlakuan orang-orang di restoran tersebut saat mereka pertama kali
menginjakkan kaki disana. Terutama saat mereka melihat Seira. Sebagian
berpandangan jijik, ngeri, bahkan menertawakannya, meskipun ada beberapa orang
yang tulus mengasihani gadis malang itu. Tidak jauh dari tempat mereka makan,
salah seorang pengunjung berbicara kepada pelayan sembari berbisik dan melirik
ke arah Seira. Kemudian pelayan itu mendatangi meja mereka.
"Maaf
bu, tetapi ibu tidak bisa makan disini karena wajah anak itu mengganggu para
pelanggan kami yang lain. Dengan terpaksa kami harus meminta ibu untuk
pergi."
Seira pun
mengerti apa maksud pelayan itu, dan ia mulai menangis. Nenek tak bisa berbuat
apa-apa, ia berusaha unuk menahan segala amarahnya dan langsung menggendong
Seira keluar dari sana dan membawanya pulang. Sepanjang perjalanan Seira tidak
berhenti menangis, dan tangisannya justru menimbulkan perhatian banyak orang.
Sejak saat
itu Seira kecil sering kali mendapat cemoohan dari orang-orang disekitarnya,
mereka memanggilnya 'Sebelah Mata', namun Seira tidak sekalipun patah semangat.
Keluarganya selalu memberinya dukungan, saran dan masukan agar gadis itu tumbuh
menjadi seseorang yang kuat. Sampai beberapa bulan kemudian Seira mendapat
transplantasi mata dari salah seorang donor. Bahkan dengan ketidaksempurnaan
yang dimilikinya, Seira tetap bisa bersekolah dan bermain seperti layaknya
anak-anak normal. Beberapa orang yang mampu mensyukuri hidupnya, mereka bisa
saja berbahagia walau dengan segala kekurangan yang dimiliki dan pandangan
sebelah mata yang orang lain beri. Bukankah seharusnya kita juga bisa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar