Senin, 22 Desember 2014

Sebelah Mata

  Trangg!!

  Suara kaca yang menghantam lantai terdengar lagi dari kamar Seira.

  Tak lama, tangisan gadis kecil itu menimbulkan kegaduhan. Langkah kaki panik dokter dan suster bergema sepanjang lorong rumah sakit, berlari secepat mungkin untuk memeriksa keadaan.
  Seorang ibu tengah menggenggam tangan kecil anak perempuannya, menahan air mata yang hampir tak terbendung, berupaya sekuat tenaga menenangkan gadis kecil itu agar tak melawan saat dokter menyuntiknya.
Malam itu berlalu dengan ditemani gemuruh hujan dan angin kencang, seakan tahu bahwa kekhawatiran tengah menerpa keluarga mereka.

  Sinar mentari menyilaukan mata Seira kecil. Perlahan, matanya mulai beradaptasi, berusaha menangkap keadaan sekitar. Di sisi tempat tidur, samar-samar ia melihat seorang lelaki tua berjubah putih sedang berbicara dengan seorang pria berjas hitam dan wanita paruh baya disampingnya. Wanita itu menyadari bahwa Seira mulai terbangun dan segera mendekat.

  “Selamat pagi,” tangannya yang halus membelai kepala Seira dengan lembut, membuat mata Seira terbuka lebar. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya untuk melihat wanita itu lebih jelas.
  “Ibu? Ayah?” mulutnya terasa perih saat mengucapkan kata-kata itu. Seira tahu mereka tersenyum, namun ia hanya bisa melihat bayang-bayang mereka.
  “Ibu? Ayah? Tidak kelihatan! Ibu! Ayah!” tangannya berusaha meraih pegangan, meraba ke segala arah. Nafasnya terengah-engah, ketakutan dan kebingungan. Ia tidak bisa merasakan syaraf-syaraf di tubuhnya, seakan telah terputus. Yang bisa ia rasakan hanyalah rasa sakit tiap kali ia berbicara dan bayangan yang kabur meski ia sudah berkali-kali memfokuskan pandangan. Seira menggenggam tangan wanita itu kuat-kuat.

  “Tidak apa-apa, Nak. Tidak apa-apa,”

  Perlahan air matanya menetes. Ia ingat anaknya yang dahulu sempurna tanpa ada kecacatan fisik sedikitpun, gadis kecil lucu dan polos yang begitu disayangi semua orang, kini menderita di ruang UGD rumah sakit. Sang ibu tidak sanggup untuk memberitahu putri semata wayangnya itu bahwa ia telah kehilangan mata kirinya saat dua anjing pitbull menyerangnya kemarin sore di taman. Akibatnya mata kiri Seira kini harus diperban. Dengan tinggal satu matanya yang setengah buta, Seira meraba wajah ibunya. Jari-jari kecilnya menelusuri setiap jengkal wajah sang ibu, dengan terbata-bata memanggilnya tanpa suara.
  Mulut gadis kecil itu mendapat beberapa jahitan sehingga tidak memungkinkannya untuk mengunyah makanan, namun dokter telah memasang tabung dengan selang-selang yang terhubung di tubuh Seira untuk memudahkannya makan. Setelah beberapa hari mendapat perawatan di RS, akhirnya dokter mengijinkan Seira untuk pulang dan menjalani rawat inap. Selama proses rawat inap, dokter akan datang ke rumah dua kali seminggu. Sang nenek lah yang mendapati tugas untuk menjaga Seira saat kedua orang tuanya sedang tidak dirumah.
  Setelah dua bulan rawat inap, dokter mengatakan kondisi Seira semakin membaik dan ia sudah bisa bepergian keluar. Ia memberi Seira selamat dan sebatang permen untuknya. Seira menatap nenek, menyadari bahwa sudah waktunya makan siang.

  "Nenek, aku ingin makanan lain. Aku ingin pergi jalan-jalan di luar," suara gadis itu serak dan putus-putus, sang nenek tidak tega menolak keinginan Seira. Ia bisa mengerti bahwa Seira pasti bosan. Nenek tahu cucunya adalah gadis kecil yang aktif. Dan mengurungnya dirumah akan membuatnya merasa tertekan. Akhirnya nenek memutuskan untuk mengajaknya makan di sebuah warung makan beberapa blok dari rumah.
  Betapa senangnya Seira bisa pergi jalan-jalan, terutama melihat matahari yang bersinar terang, menyaksikan anak-anak sekadar bermain dan berlari-lari bersama. Beberapa meter di depan terlihat pintu masuk rumah makan itu. Sang nenek kemudian memesan bubur untuk Seira dan dua es teh. Untuk makan, Seira masih menggunakan tabung makan yang dipasang oleh dokter.
  Nenek sadar akan perlakuan orang-orang di restoran tersebut saat mereka pertama kali menginjakkan kaki disana. Terutama saat mereka melihat Seira. Sebagian berpandangan jijik, ngeri, bahkan menertawakannya, meskipun ada beberapa orang yang tulus mengasihani gadis malang itu. Tidak jauh dari tempat mereka makan, salah seorang pengunjung berbicara kepada pelayan sembari berbisik dan melirik ke arah Seira. Kemudian pelayan itu mendatangi meja mereka.
  "Maaf bu, tetapi ibu tidak bisa makan disini karena wajah anak itu mengganggu para pelanggan kami yang lain. Dengan terpaksa kami harus meminta ibu untuk pergi."
  Seira pun mengerti apa maksud pelayan itu, dan ia mulai menangis. Nenek tak bisa berbuat apa-apa, ia berusaha unuk menahan segala amarahnya dan langsung menggendong Seira keluar dari sana dan membawanya pulang. Sepanjang perjalanan Seira tidak berhenti menangis, dan tangisannya justru menimbulkan perhatian banyak orang.
  Sejak saat itu Seira kecil sering kali mendapat cemoohan dari orang-orang disekitarnya, mereka memanggilnya 'Sebelah Mata', namun Seira tidak sekalipun patah semangat. Keluarganya selalu memberinya dukungan, saran dan masukan agar gadis itu tumbuh menjadi seseorang yang kuat. Sampai beberapa bulan kemudian Seira mendapat transplantasi mata dari salah seorang donor. Bahkan dengan ketidaksempurnaan yang dimilikinya, Seira tetap bisa bersekolah dan bermain seperti layaknya anak-anak normal. Beberapa orang yang mampu mensyukuri hidupnya, mereka bisa saja berbahagia walau dengan segala kekurangan yang dimiliki dan pandangan sebelah mata yang orang lain beri. Bukankah seharusnya kita juga bisa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar