Senin, 22 Desember 2014

Tujuh Orang

  Bel kelas kali ini tidak membuat Rasya bersemangat.

  Sebenarnya Rasya sudah cukup lama menunggu sampai bunyi bel terakhir sekolah itu tiba, karena akhirnya ia bisa menikmati libur tahun baru yang ditunggu tunggu. Tetapi Pak Jodit, guru kesenian yang terkenal killer, sepertinya takkan membiarkan anak-anak muridnya berlibur tanpa tugas.

  “Dengar anak-anak. Saya tahu liburan kali ini adalah kesempatan emas bagi kalian untuk mempersiapkan diri menjelang ujian akhir sekolah. Tetapi saya akan memberikan tugas sebagai nilai psikomotor dalam rapot kalian. Tugasnya adalah kalian akan membuat art project. Bisa dalam bentuk film pendek, fotografi, atau seni lukis. Tidak boleh ada murid yang melenceng dari tiga kategori tersebut!” suara tinggi guru itu masih terngiang di telinga Rasya dan sedikit membuatnya bergidik.
  Di pojok ruangan, ia melihat teman dekatnya, Jerome sedang berbicara dengan seorang gadis. Ia berjalan menghampiri mereka.

  “Hei bro, coba dengar! Kita baru saja ngobrol soal art project tadi. Alyssa punya ide keren!” Jerome menepuk pundak Rasya dengan bersemangat, sampai membuat pemuda itu kesakitan.
  “Oh, Lyssa, hei. Jadi, apa kira-kira idemu?”
  “Aku mengusulkan kita pakai kategori fotografi. Sebenarnya aku ingin sedikit hal ekstrim yang tidak biasa, seperti misalnya pemotretan tentang seorang korban bunuh diri yang lompat dari sebuah bangunan.” semua orang di kelompoknya setuju mengenai ide Alyssa, meskipun menurut Rasya ide itu sedikit gila, dan itu tidak keren. Sama sekali.
  “Aku setuju dengan Lyssa,” sahut Jerome.
  “Aku juga,” ucap yang lainnya.
  Rasya menarik napas panjang. Ini dia masalahnya. Setiap kali gadis itu berbicara, orang-orang seperti terhipnotis dengan kecantikannya, dan mereka akan setuju dengan apapun yang dikatan Alyssa. Apapun.
  “Bagaimana denganmu?” tanya Alyssa. Semua orang menatap Rasya. Jerome dan teman-temannya melemparkan ekspresi mengancam dan Rasya tahu ia harus setuju suka atau tidak suka.
  “Ya, aku setuju.” Rasya tersenyum palsu.
  “Bagus,” Alyssa segera mengambil alih pembicaraan dan menjelaskan bagaimana teknisnya, dimana tempatnya, dan lain-lain. Seperti biasa semua orang setuju, kecuali Rasya, yang sekali lagi harus berpura-pura senang karna Alyssa menetapkannya sebagai model yang akan berpose seperti seseorang yang baru saja lompat dari gedung. Astaga.

  Pagi itu suasana begitu sejuk, matahari bersinar terang tapi tidak membuat udara menjadi panas. Sebuah mobil Volkswagen bug mini berwarna pink muda baru saja memasuki parkiran mall, diikuti beberapa mobil lain di belakangnya. Warna mobil itu cukup mencolok diantara kerumunan mobil-mobil warna hitam yang terparkir disana. Seorang gadis keluar dari mobil itu sembari membawa peralatan fotografi. Semua orang berebut untuk membantu gadis itu membawakan barang-barangnya, meskipun tidak terlalu banyak.
  “Yang benar saja,” keluh Rasya. Ia segera berjalan menuju set pemotretan. Harus diakui, tempat itu terlihat keren dan tidak seperti tempat seseorang yang baru saja dimutilasi.
  “Rasya! Bisa kemari sebentar?” panggil Alyssa. Ia tidak menyadari mereka sudah berkumpul disana sejak tadi untuk briefing terlebih dulu.
  "Ya, tentu. Maaf,"

  Setelah pemberian arahan dari Alyssa, semua orang segera bersiap di posisi masing-masing. Rasya hanya terdiam, melihat set dari atas, memikirkan bagaimana rasanya seandainya ia benar-benar terjun dari parkiran ini. Akankah ada yang peduli atau bahkan repot-repot menolongnya. Akankah ada seseorang yang merindukan kepergiannya atau tidak. Akankah kedua orang tuanya yang selalu ribut dirumah, selalu bertengkar tiap malam bisa kembali akur karena kematiannya. Rasya tak berhenti memikirkan hal-hal itu, betapa yang ia inginkan hanya secuil kebahagiaan dalam hidupnya yang terasa pudar.
   Namun ia memutuskan untuk bertahan. Melawan segala perasaan yang memberitahunya untuk melompat. Tidak, Rasya tidak ingin membuat kericuhan di tempat umum. Dari jauh Alyssa melambaikan tangan ke arahnya, menyuruhnya segera bersiap.
   Setelah selesai di make up dengan darah palsu, Rasya langsung mengambil posisi tengkurap di tengah-tengah parkiran. Fikirannya melayang seperti saat ia melihat set dari atas. Ia begitu menghayati perannya hingga tubuhnya benar-benar tidak bergerak, pose nya sempurna seperti mayat asli. Kemudian dari beberapa orang yang melewati parkiran tersebut, tujuh orang dengan panik berlari menghampiri Rasya dan bertanya apakah ia baik-baik saja dan apakah perlu di panggilkan ambulan. Rasya cukup terkejut mendengar tujuh orang itu begitu khawatir padanya sekalipun mereka tidak saling kenal.
  "Saya baik-baik saja, Pak. Hanya sedang melakukan pemotretan," jelas Rasya singkat. Lelaki paruh baya itu sedikit enggan meninggalkan Rasya namun ia menepuk pundaknya pelan dan berkata, "Kau masih muda, Nak. Masih memiliki banyak waktu dan kesempatan." kemudian ia pergi bersama enam orang lainnya.
  Dalam hati pemuda itu ada sesuatu yang membuatnya tergugah. Pemikiran untuk lompat dari gedung dan mengakhiri hidup sering kali terlintas dalam benaknya. Namun fakta bahwa masih ada orang yang mau berhenti dan berlari menghampirinya untuk membantu, menyadarkan Rasya bahwa masih ada orang yang peduli. Banyak orang yang hanya sekadar melihat dan lalu lalang, tapi tujuh orang itu entah bagaimana berhasil menghilangkan keinginan untuk mencoba bunuh diri sebenarnya yang sempat ia rasakan.
  Tak ada satupun temannya yang tahu, bahkan Jerome, mengenai apa yang terjadi hari itu di parkiran. Satu hal yang diingat Rasya adalah apa yang dikatakan salah seorang dari tujuh orang tersebut. Ia masih muda, masih memiliki waktu dan kesempatan. Hal-hal sederhana yang belum ia manfaatkan dengan baik selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar