Sebenarnya Rasya sudah cukup lama menunggu sampai bunyi bel terakhir
sekolah itu tiba, karena akhirnya ia bisa menikmati libur tahun baru yang
ditunggu tunggu. Tetapi Pak Jodit, guru kesenian yang terkenal killer, sepertinya takkan
membiarkan anak-anak muridnya berlibur tanpa tugas.
“Dengar
anak-anak. Saya tahu liburan kali ini adalah kesempatan emas bagi kalian untuk
mempersiapkan diri menjelang ujian akhir sekolah. Tetapi saya akan memberikan
tugas sebagai nilai psikomotor dalam rapot kalian. Tugasnya adalah kalian akan
membuat art project. Bisa dalam bentuk film pendek, fotografi, atau seni lukis. Tidak
boleh ada murid yang melenceng dari tiga kategori tersebut!” suara tinggi guru
itu masih terngiang di telinga Rasya dan sedikit membuatnya bergidik.
Di
pojok ruangan, ia melihat teman dekatnya, Jerome sedang berbicara dengan
seorang gadis. Ia berjalan menghampiri mereka.
“Hei bro, coba dengar! Kita baru saja ngobrol soal art project tadi. Alyssa punya ide
keren!” Jerome menepuk pundak Rasya dengan bersemangat, sampai membuat pemuda
itu kesakitan.
“Oh,
Lyssa, hei. Jadi, apa kira-kira idemu?”
“Aku
mengusulkan kita pakai kategori fotografi. Sebenarnya aku ingin sedikit hal
ekstrim yang tidak biasa, seperti misalnya pemotretan tentang seorang korban
bunuh diri yang lompat dari sebuah bangunan.” semua orang di kelompoknya setuju
mengenai ide Alyssa, meskipun menurut Rasya ide itu sedikit gila, dan itu tidak
keren. Sama sekali.
“Aku
setuju dengan Lyssa,” sahut Jerome.
“Aku
juga,” ucap yang lainnya.
Rasya
menarik napas panjang. Ini dia masalahnya. Setiap kali gadis itu berbicara,
orang-orang seperti terhipnotis dengan kecantikannya, dan mereka akan setuju
dengan apapun yang dikatan Alyssa. Apapun.
“Bagaimana denganmu?” tanya Alyssa. Semua orang menatap Rasya. Jerome
dan teman-temannya melemparkan ekspresi mengancam dan Rasya tahu ia harus
setuju suka atau tidak suka.
“Ya,
aku setuju.” Rasya tersenyum palsu.
“Bagus,” Alyssa segera mengambil alih pembicaraan dan menjelaskan
bagaimana teknisnya, dimana tempatnya, dan lain-lain. Seperti biasa semua orang
setuju, kecuali Rasya, yang sekali lagi harus berpura-pura senang karna Alyssa
menetapkannya sebagai model yang akan berpose seperti seseorang yang baru saja
lompat dari gedung. Astaga.
Pagi
itu suasana begitu sejuk, matahari bersinar terang tapi tidak membuat udara
menjadi panas. Sebuah mobil Volkswagen bug mini berwarna pink muda baru saja memasuki parkiran mall, diikuti beberapa mobil lain di
belakangnya. Warna mobil itu cukup mencolok diantara kerumunan mobil-mobil
warna hitam yang terparkir disana. Seorang gadis keluar dari mobil itu sembari
membawa peralatan fotografi. Semua orang berebut untuk membantu gadis itu membawakan
barang-barangnya, meskipun tidak terlalu banyak.
“Yang
benar saja,” keluh Rasya. Ia segera berjalan menuju set pemotretan. Harus diakui, tempat itu
terlihat keren dan tidak seperti tempat seseorang yang baru saja dimutilasi.
“Rasya!
Bisa kemari sebentar?” panggil Alyssa. Ia tidak menyadari mereka sudah
berkumpul disana sejak tadi untuk briefing terlebih dulu.
"Ya, tentu. Maaf,"
Setelah
pemberian arahan dari Alyssa, semua orang segera bersiap di posisi
masing-masing. Rasya hanya terdiam, melihat set dari atas, memikirkan bagaimana
rasanya seandainya ia benar-benar terjun dari parkiran ini. Akankah ada yang
peduli atau bahkan repot-repot menolongnya. Akankah ada seseorang yang
merindukan kepergiannya atau tidak. Akankah kedua orang tuanya yang selalu
ribut dirumah, selalu bertengkar tiap malam bisa kembali akur karena
kematiannya. Rasya tak berhenti memikirkan hal-hal itu, betapa yang ia inginkan
hanya secuil kebahagiaan dalam hidupnya yang terasa pudar.
Namun
ia memutuskan untuk bertahan. Melawan segala perasaan yang memberitahunya untuk
melompat. Tidak, Rasya tidak ingin membuat kericuhan di tempat umum. Dari jauh
Alyssa melambaikan tangan ke arahnya, menyuruhnya segera bersiap.
Setelah selesai di make up dengan darah palsu, Rasya langsung mengambil
posisi tengkurap di tengah-tengah parkiran. Fikirannya melayang seperti saat ia
melihat set dari atas. Ia begitu menghayati perannya hingga tubuhnya
benar-benar tidak bergerak, pose nya sempurna seperti mayat asli. Kemudian dari
beberapa orang yang melewati parkiran tersebut, tujuh orang dengan panik
berlari menghampiri Rasya dan bertanya apakah ia baik-baik saja dan apakah
perlu di panggilkan ambulan. Rasya cukup terkejut mendengar tujuh orang itu
begitu khawatir padanya sekalipun mereka tidak saling kenal.
"Saya baik-baik saja, Pak. Hanya sedang melakukan pemotretan,"
jelas Rasya singkat. Lelaki paruh baya itu sedikit enggan meninggalkan Rasya
namun ia menepuk pundaknya pelan dan berkata, "Kau masih muda, Nak. Masih
memiliki banyak waktu dan kesempatan." kemudian ia pergi bersama enam
orang lainnya.
Dalam
hati pemuda itu ada sesuatu yang membuatnya tergugah. Pemikiran untuk lompat
dari gedung dan mengakhiri hidup sering kali terlintas dalam benaknya. Namun
fakta bahwa masih ada orang yang mau berhenti dan berlari menghampirinya untuk
membantu, menyadarkan Rasya bahwa masih ada orang yang peduli. Banyak orang
yang hanya sekadar melihat dan lalu lalang, tapi tujuh orang itu entah
bagaimana berhasil menghilangkan keinginan untuk mencoba bunuh diri sebenarnya
yang sempat ia rasakan.
Tak ada
satupun temannya yang tahu, bahkan Jerome, mengenai apa yang terjadi hari itu
di parkiran. Satu hal yang diingat Rasya adalah apa yang dikatakan salah
seorang dari tujuh orang tersebut. Ia masih muda, masih memiliki waktu dan
kesempatan. Hal-hal sederhana yang belum ia manfaatkan dengan baik selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar